PLUZ.ID, MAKASSAR – Usulan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sulsel melalui Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) terkait kebijakan agar kendaraan bermotor penunggak pajak tidak dapat mengisi Bahan Bakar Mimyak (BBM) bersubsidi mendapat sorotan.
Pengamat kebijakan publik Universitas Hasanuddin (Unhas), Amril Hans, menilai, kebijakan tersebut tidak memiliki dasar hukum.
“Pajak itu punya aturan sendiri. Sudah ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 tahun 2023 tentang tata cara pemungutan pajak dan retribusi daerah. Persoalan orang menunggak pajak itu tersendiri, persoalan pembelian BBM bersubsidi itu juga tersendiri jadi ini dua kasus yang berbeda,” sebutnya.
Dosen Fisip Unhas ini, menekankan, kalau larangan untuk membeli BBM bersubsidi bagi penunggak pajak kendaraan bermotor, perlu dipertanyakan dasar hukumnya.
“Tidak ada dasar hukumnya yang menyatakan bahwa pemerintah melarang masyarakat untuk membeli BBM subsidi, karena menunggak pajak,” tegasnya.
Amril menguraikan, larangan mengonsumsi BBM bersubsidi diklasifikasikan dengan kebijakan tersendiri. Misalnya kendaraan dengan kapasitas mesin 1500 cc ke atas atau dengan kendaraan yang diproduksi pada tahun tertentu.
Sementara, orang menunggak pajak, disebut Amril, sebagai aspek yang berbeda dan tidak relevan jika dijadikan dasar larangan pembelian BBM subsidi yang merupakan sebuah kebijakan nasional.
Terkait dengan upaya pemerintah daerah dalam meningkatkan pajak, Amril menyebut, sebaiknya pemerintah provinsi seharusnya melakukan strategi yang lebih relevan target pemasukan pajak kendaraan bermotor.
Hal senada juga dilontarkan Prof Muhammad Nur Sadik.
Dilansir dari salah satu media, Pakar Kebijakan Publik Unhas ini, menilai, rencana Pemprov Sulsel menggeneralisasi antara pajak dan pengisian BBM merupakan kebijakan yang aneh.
“Iya (kebijakannya) bersifat aneh, harusnya pengelola pajak sosialisasi, mencari penyebabnya mengapa orang tidak bayar pajak,” ucapnya.
Nur Sadik menjelaskan, secara konseptual, kebijakan publik itu bersifat umum, sehingga tidak ada diskriminasi. Jadi tidak bisa menghubungkan kebijakan yang satu dengan yang lain.
“Persoalannya pihak pajak supaya memberikan edukasi bagaimana sosialisasi sehingga orang bayar pajak, bukan masalah kebijakan Pemda (dilarang isi BBM),” jelasnya.
Guru besar ini, menuturkan, boleh jadi orang yang tidak bayar pajak ini, karena memiliki pendapatan yang rendah. Bahaya lagi jika kebijakan itu kemudian dibebankan mereka pada larangan pengisian BBM.
“Kenapa orang nggak bayar pajak, berarti ada sesuatu yang bermasalah dalam pengelolaan pajak itu, harus diteliti kenapa orang nggak bayar pajak apa penyebabnya ataukah orang pendapatan kurang,” paparnya.
“Harus diteliti jangan dikaitkan dengan pembayaran pembeli bensin padahal orang beli bensin itu kan bisa orang bergerak dimana-mana cari uang,” lanjutnya.
Kepala Bapenda Provinsi Sulsel, Reza Faisal Saleh, mengemukakan, kebijakan larangan pembelian BBM bersubsidi akan dikolaborasikan dengan Pertamina.
“Kita akan kerja sama dengan Pertamina bagaimana masyarakat yang mendapatkan BBM subsidi juga bisa memenuhi kewajibannya,” ujar Reza, belum lama ini.
PT Pertamina Regional Sulawesi saat dihubungi mengatakan, Bapenda telah menyampaikan rencana tersebut.
“Belum ada kesepakatan,” ujar Fahrougi Andriani Sumampouw, Area Manager Communication, Relation, dan CSR PT Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi. (***)